Keamanan pangan berhubungan sangat erat dengan keberlangsungan kehidupan manusia. Hal tersebut disebabkan oleh pentingnya pangan sebagai salah satu dari kebutuhan dasar manusia dari aspek fisiologis (Maslow, 1987). Foodborne disease atau keracunan pangan menjadi tantangan di dalam menjaga keamanan pangan yang dikonsumsi oleh manusia. Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, mengatakan bahwa terdapat peningkatan angka keracunan pangan dari 106 peristiwa pada 2016 menjadi 142 pada 2017. Permasalahan tersebut pasalnya dikarenakan oleh keadaan pangan yang telah terkontaminasi atau tercemar oleh mikroba, seperti bakteri, parasit, racun, dan virus.

            Regulasi yang menyinggung tentang mikroba di dalam pangan adalah Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (PK BPOM) RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Regulasi tentang mikrobiologi pada pangan tersebut dapat membantu produsen pangan dan pemerintah dalam menjamin keamanan pangan yang beredar untuk masyarakat. Kehadiran regulasi tersebut juga mempermudah penerapan produksi pangan yang bertanggungjawab.

            Pemeriksaan mikrobiologi pada pangan olahan awalnya dilakukan saat pendaftaran produk dilakukan. Produk pangan olahan yang telah memiliki nomor pendaftaran selanjutnya dapat mengajukan izin edar. Evaluasi per satu tahun dilakukan untuk menguji kembali kelayakan produk pangan olahan yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan izin edar untuk dipasarkan. PT Indofood Sukses Makmur Tbk merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pangan dan lolos pemeriksaan mikrobiologi pada produknya sehingga dapat memasarkan produk pangan yang layak untuk masyarakat.

            BPOM RI terus berupaya dalam meningkatkan pelayanan sebagai pengawas kandungan berbahaya dan keamanan pangan di Indonesia. Salah satu bentuk nyata kontribusi BPOM RI dalam berinovasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat adalah melengkapi regulasi yang sudah ada dengan revisi atau regulasi yang baru. PK BPOM RI Nomor 16 Tahun 2016 tentang Kriteria Mikrobiologi dalam Pangan Olahan merupakan penyempurnaan dari regulasi seputar mikrobiologi yang sebelumnya. Akan tetapi, regulasi tersebut memiliki beberapa celah yang dapat dipertanyakan.

            Regulasi tersebut menunjukkan BPOM RI dan tim ahli (akademisi, profesor, dan tenaga ahli di bidang terkait yang ditunjuk oleh BPOM RI) belum memiliki persamaan persepsi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya komunikasi dan sosialisasi dalam penyusunan regulasi. BPOM RI, sebagai lembaga pengawas peredaran obat-obatan dan pangan di Indonesia, memiliki tugas untuk melayani seluruh pemangku kepentingan sedangkan tim ahli memiliki tugas untuk memberikan pendapat ilmiah yang dapat membantu BPOM RI. Perbedaan kedua orientasi tersebut dapat mempengaruhi regulasi yang disusun. Regulasi baru tersebut sebagian besar dibentuk oleh tim ahli. Oleh karena itu, regulasi baru tentang kriteria mikrobiologi di dalam pangan terkesan cenderung ditujukan untuk tujuan ilmiah, yaitu keamanan pangan olahan.

            Pergeseran ketentuan dalam regulasi terjadi mulai dari akar proses peredaran produk yang sebelumnya telah ada. Pemeriksaan mikrobiologi tidak diperbolehkan hanya dilakukan pada pendaftaran awal untuk mendapatkan nomor pendaftaran yang akan mengantarkan produk pangan olahan diajukan izin edarnya. Pemeriksaan mikrobiologi harus dilakukan sebelum mengajukan pendaftaran produk pangan olahan dan harus diproduksi dalam skala produksi (banyak). Hal tersebut sulit untuk dilaksanakan karena produk harus dikemas dengan kemasan kosong karena belum mendapatkan izin edar, yang dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar untuk para produsen pangan olahan.

Negosiasi dengan BPOM RI akhirnya dilakukan agar izin edar produk dapat disetujui terlebih dahulu untuk menekan kerugian. BPOM RI menawarkan solusi atas permasalahan tersebut dengan wujud pemeriksaan potensi mikroba yang tumbuh pada produk pangan olahan di laboratorium. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut membutuhkan setidaknya 2 minggu karena bakteri patogen (bakteri yang dapat menularkan penyakit) potensial pada pangan olahan dihindari untuk mengontaminasi laboratorium dan semua jenis mikroba harus diujikan, berbeda dengan pemeriksaan yang dulu yang memeriksa jenis-jenis mikroba sesuai dengan kategori produk pangan olahan. Proses pemeriksaan mikrobiologi pada pangan dapat dipercepat dengan biaya tambahan sebesar dua kali lipat dari biaya pemeriksaan awal.

            Perubahan juga terjadi pada proses produksi rempah-rempah lokal, yang mengandung banyak mikroba dan dapat mati ketika diolah menjadi masakan melalui pemanasan, harus dipanaskan terlebih dahulu untuk lolos pemeriksaan mikrobiologi sebelum pendaftaran produk. Sampel yang diujikan per batch produksi minimal 5 produk pangan olahan untuk setiap jenis mikroba yang ingin diperiksa. Hal tersebut menyebabkan pemborosan dalam produksi pangan olahan bahkan sebelum mendaftarkan produk yang ingin diedarkan.

            Celah-celah dalam regulasi tersebut sebaiknya dapat menjadi pertimbangan untuk BPOM RI dalam merumuskan sebuah regulasi. Dampak yang dirasakan oleh para produsen pangan olahan pasalnya dapat dirasakan juga oleh para konsumen. Pemborosan biaya, energi, dan waktu yang membengkak dapat dibebankan kepada para konsumen produk pangan olahan. Setiap produk yang mengalami dampak dari regulasi tersebut dapat mengalami kenaikan harga sebesar 250% – 1000%. Hal tersebut disayangkan untuk terjadi karena berbanding terbalik dengan BPOM RI yang bertugas untuk melayani masyarakat, khususnya di dalam obat-obatan dan pangan.

 Materi terkait regulasi mikrobiologi ini diangkat dalam acara Food Insight 1-2018 yang diadakan pada Selasa, 20 Februari 2018 di Multifunction Room 1, Sudirman Plaza Indofood Tower lantai 39. Dr. Ir. Roy Sparringa, M,App, Sc memberikan bahasan dengan judul Strengthening Industry Self-Regulation to Meet Food Regulatory Compliance sedangkan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS memberikan bahasan Gen-Z Lifestyle: Implications for Food Industries.

Leave a comment

window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag('js', new Date()); gtag('config', 'G-QDZP4FP41N');